DINAMIKADUNIA.COM – Dalam dunia politik Indonesia, pembahasan mengenai status Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga permanen versus lembaga ad hoc menjadi topik yang hangat.
Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, memberikan pandangannya terkait isu ini. Rifqi menekankan bahwa pembahasan untuk mengubah status KPU dan Bawaslu belum dilakukan di parlemen.
Meskipun demikian, secara pribadi, ia menentang wacana perubahan status tersebut menjadi lembaga ad hoc. Menurutnya, lebih baik mempertahankan status yang ada saat ini.
“Pembahasannya ‘kan belum dilakukan terkait dengan revisi sejumlah undang-undang. Ya kita tunggu saja nanti. Partai-partai politik juga belum menyampaikan sikap resminya kepada kami. Tapi, kalau ditanya secara pribadi, saya kira lebih baik kita pertahankan yang ada sekarang,” ujar Rifqi di Badung, Bali, Minggu (22/12/2024).
Hal ini didasarkan pada apresiasi terhadap keberhasilan KPU dan Bawaslu dalam menyelenggarakan berbagai pemilihan, seperti pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota legislatif, serta pemilihan kepala daerah secara beruntun dalam satu tahun.
Selain itu, Rifqi mengungkapkan kekhawatiran terhadap sistem kepemiluan yang saat ini berjalan. Ia menyatakan bahwa ada kebutuhan untuk mengevaluasi kembali jadwal pemilihan, baik itu pemilihan legislatif (pileg), presiden (pilpres), maupun kepala daerah (pilkada).
“Konsekuensi dari jadwal yang tumpang tindih di berbagai tahapan pemilu di beberapa tempat menurutnya perlu dipertimbangkan kembali. Ini bisa berarti bahwa jadwal pilkada mungkin tidak lagi diadakan dalam tahun yang sama dengan pileg dan pilpres,” ujarnya.
Lebih lanjut, Rifqi mendapat masukan untuk memisahkan jenis pemilu menjadi dua, yaitu pemilu nasional dan lokal. Pemilu nasional mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden serta anggota DPR RI dan DPD.
Sementara pemilu lokal mencakup pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan fleksibilitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
“Hal-hal seperti ini akan kita kaji, timing-nya (waktu) seperti apa sehingga menurut saya, dalam konteks ini, mengutak atik ad hoc atau tidaknya KPU menjadi belum terlalu relevan karena ada hal yang jauh lebih substantif yang harus kita bicarakan untuk kita menata sistem politik dan pemilihan kita ke depan,” imbuh Rifqinizamy.
Sebelumnya, wacana untuk mengubah kelembagaan penyelenggara pemilu menjadi lembaga ad hoc bergulir di lingkungan DPR RI akhir bulan Oktober lalu. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengusulkan KPU diubah menjadi lembaga ad hoc dengan masa kerja dua tahun untuk persiapan dan pelaksanaan pemilu.
“Jadi kami sedang berpikir di DPR, justru KPU itu hanya lembaga ad hoc, dua tahun saja. Ngapain kita menghabiskan uang negara kebanyakan?” kata Saleh saat rapat dengar pendapat antara Baleg DPR RI bersama tiga lembaga/organisasi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (31/10/2024) lalu.
Secara keseluruhan, Rifqi menginginkan evaluasi yang mendalam terhadap sistem pemilu yang ada untuk memastikan bahwa setiap tahapan pemilu dapat berjalan dengan lancar dan efektif.
Dengan demikian, diharapkan partai-partai politik dan pemilih dapat lebih mudah memahami dan berpartisipasi dalam proses demokrasi di Indonesia. (Akha)