DINAMIKADUNIA.COM – Anggota Komisi II DPR RI, Indrajaya, meminta kepada pemerintah untuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilu di Indonesia. Sistem pemilu yang berlangsung selama 2024 dinilai banyak menelan biaya
“Mahalnya biaya yang dikeluarkan saat pemilu disebabkan rumitnya regulasi di mana UU Pemilu digunakan untuk memilih calon anggota DPR, DPD, DPRD menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka,” ujarnya di Jakarta, Senin (16/12/2024).
Menurut legislator asal daerah pemilihan Papua ini, bahwa biaya yang dikeluarkan sangat besar, mencapai angka fantastis yaitu Rp 71,3 triliun untuk Pileg dan Pilpres, ditambah Rp 37,4 triliun untuk Pilkada.
Angka ini belum termasuk biaya pemungutan suara ulang (PSU) dan pilkada ulang di beberapa daerah. Indrajaya menyoroti kerumitan regulasi sebagai penyebab utama pembengkakan biaya.
UU Pemilu yang mengatur pemilihan DPR, DPD, dan DPRD dengan sistem proporsional terbuka, berbeda dengan UU Pilkada yang mengatur pemilihan kepala daerah. Sistem dan anggaran yang berbeda, padahal penyelenggaranya sama, dinilai sebagai inefisiensi yang signifikan.
“Ini kerumitan pertama, sama-sama pemilu, tapi harus diatur dengan UU yang berbeda, sistem dan anggaran berbeda, padahal penyelenggaranya sama,” jelas Indrajaya.
Lebih lanjut, Indrajaya mencatat tren peningkatan biaya pemilu dari tahun ke tahun. Pemilu 2004 menghabiskan Rp 13,5 triliun, meningkat drastis menjadi Rp 47,9 triliun pada 2009, dan kembali naik pada 2014. Pemilu 2019 Rp24,8 triliun, dan terakhir Pemilu 2024 mencapai Rp71,3 triliun.
Situasi ini diperparah potensi biaya tambahan yang sangat besar jika Pilpres 2024 berlangsung dua putaran, yaitu sekitar Rp 38,2 triliun. “Beruntung Pilpres 2024 satu putaran, bila dua putaran, negara harus menggelontorkan APBN tambahan sebesar Rp38,2 triliun,” beber Indrajaya.
Oleh karena itu, evaluasi sistem pemilu menjadi sangat penting untuk menciptakan sistem politik yang lebih baik dan efisien secara finansial, demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
“Ini juga yang menjadi alasan PKB mendorong BPK melakukan audit menyeluruh dana pemilu agar tidak menimbulkan syakwasangka,” sambung Indrajaya.
Dengan adanya temuan ini, dia berharap pemerintah bisa lebih serius mengevaluasi sistem politik Indonesia demi menciptakan pemilu yang hemat.
“Bila anggaran pemilu dihemat maka pemenuhan kebutuhan anggaran semisal untuk Program Makan Bergizi Gratis senilai Rp71 triliun untuk tahun 2025 dan tambahan anggaran kesejahteraan guru ASN dan non-ASN yang mencapai Rp81,6 triliun pada APBN 2025 akan lebih ringan,” kata dia.
Harapannya, evaluasi ini akan menghasilkan rekomendasi konkret untuk menyederhanakan regulasi dan mengurangi biaya penyelenggaraan pemilu di masa mendatang. Langkah ini penting untuk memastikan dana negara digunakan secara efektif dan tepat sasaran.
Sehingga dapat dialokasikan untuk program pembangunan lainnya yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Dengan demikian, pemilu yang demokratis dan bermartabat dapat terwujud tanpa harus mengorbankan efisiensi anggaran negara. (Akha)