DINAMIKADUNIA.COM – Para hakim di Yogyakarta dan Denpasar, Bali, telah mengindikasikan dukungan mereka terhadap gerakan cuti massal yang dijadwalkan pada 7-11 Oktober 2024.
Gerakan ini bertujuan untuk menuntut peningkatan kesejahteraan melalui gaji dan tunjangan yang belum mengalami penyesuaian sejak 2012.
Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta, Setyawan Hartono, secara moral mendukung gerakan ini dan tidak melarang para hakim di instansinya untuk ikut serta.
“Secara moral (mendukung), artinya gini mendukung itu gini, saya tidak melarang KPN (Ketua Pengadilan Negeri) untuk memberikan cuti, kecuali kalau bolos. Untuk melakukan aksinya itu kan mereka menggunakan haknya,” kata Setyawan di kantornya, Senin (30/9/2024).
Meskipun dukungan moralnya, Setyawan belum menerima permohonan cuti dari para hakim di PT untuk tanggal yang dimaksud. Demikian pula, para KPN di wilayahnya belum melaporkan perihal hakim yang mengajukan permohonan perluasan cuti karena ikut gerakan ini.
Setyawan mengakui dukungannya terhadap gerakan yang memperjuangkan kesejahteraan hakim, khususnya para hakim junior yang merasa tidak dihargai dengan penerimaan gaji dan tunjangan sekarang ini.
“Gaji pokok bulanan para hakim junior saat ini kisaran Rp3 juta, sementara tunjangan jabatannya Rp8,5 juta. Dengan tunjangan keluarga, total penerimaan para hakim muda bahkan setara dengan gaji dan tunjangan para staff berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di lingkungan PT,” jelasnya.
Kondisi ini, menurut Setyawan, tidak sebanding dengan para hakim baru yang biasanya pada permulaan masa kerja ditempatkan jauh dari keluarga hingga ke luar pulau.
“Kalau dengan PNS, misalnya di pengadilan negeri (total penerimaan) hakim baru itu setara dengan panitera muda sekarang ini, jadi memang bagi junior-junior itu sangat merasakan betapa sakitnya hakim itu kok begitu kurang dihargai,” kata Setyawan.
Setyawan mengkritik kondisi saat ini yang dianggapnya tidak rasional, terutama bagi hakim junior dan hakim baru. “Sudah tidak rasional sekarang kondisinya, terutama hakim junior, hakim baru,” ujarnya.
Dalam hal ini, Setyawan turut menyayangkan pengaturan penggajian hakim dalam PP Nomor 94 tahun 2012 yang sampai sekarang ini tak pernah dilakukan peninjauan. Padahal, saat era orde baru dulu penggajian ini setiap delapan tahun dilaksanakan inpassing alias disesuaikan.
Setyawan meyakini, gerakan ini tak dimaksudkan para hakim untuk lantas mengabaikan pelayanan publik, melainkan demi mendapat atensi dari pemerintah.
“Kalau (cuti massal) terjadi, pelayanan harus tetap berjalan. Kalau hakim di PT itu kan sidang hanya menghadapi berkas, tapi pelayanan di PTSP tetap berjalan. Jadi (hakim) kalau cuti di PT itu tidak terlalu berarti, kalau PTSP kan bukan hakim,” pungkasnya.
Dengan dukungan dari Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta, diharapkan gerakan cuti massal ini dapat mendorong peningkatan kesejahteraan para hakim dan menciptakan perubahan yang signifikan dalam kondisi mereka.
Sementara dukungan penuh juga datang dari Hakim di Denpasar terhadap gerakan cuti massal. Pada tanggal 7-11 Oktober 2024, seluruh hakim di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar turut mendukung gerakan cuti massal hakim.
Humas Pengadilan Negeri Denpasar, Gde Putra Astawa, mengatakan bahwa aksi solidaritas ini merupakan bentuk dukungan untuk peningkatan kesejahteraan hakim yang sudah ada di Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012.
Hakim di seluruh Indonesia mendukung kegiatan ini melalui Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) dan sudah dilakukan usulan dari daerah sampai ke pusat. Ikahi Pusat telah menindaklanjuti dengan melakukan pertemuan dengan kementerian terkait dan juga dengan DPR dan seterusnya.
Hakim-hakim di PN Denpasar pasti mendukung peningkatan kesejahteraan hakim tersebut. Jumlah hakim di PN Denpasar untuk hakim karir saat ini mencapai sebanyak 22 orang hakim, termasuk ketua dan wakil. Lalu, untuk hakim Ad Hoc sebanyak 5 orang hakim.
Mereka mendukung aksi solidaritas ini dengan berbagai cara, seperti mengajukan cuti dan bergabung dengan para hakim yang lain berangkat ke Jakarta untuk menggelar demonstrasi atau ada hakim yang mengambil cuti dan berdiam diri di rumah sebagai bentuk dukungan kepada rekan-rekannya yang berjuang di Jakarta.
“Mau mengambil cuti misalnya dan tidak ada biaya ke Jakarta (tapi) berdiam di rumah untuk menyelesaikan pekerjaan yang lain, silahkan. (Atau) menunda persidangan di tanggal tersebut sebagai bentuk solidaritas atau dukungan, boleh. Atau, kalau memang agenda sidang sudah terlanjur ditetapkan, tidak harus dilaksanakan sidang itu, iya tidak apa-apa,” ungkapnya.
Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia Fauzan Arrasyid menjelaskan gerakan tersebut sebagai bentuk protes damai untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa kesejahteraan hakim adalah isu yang sangat mendesak.
“Gerakan cuti bersama hakim se-Indonesia ini akan dilaksanakan secara serentak oleh ribuan hakim mulai tanggal 7 hingga 11 Oktober 2024,” kata Fauzan dalam keterangan yang diterima awak media Kumat (27/9/2024).
Fauzan menganggap ketidakmampuan pemerintah untuk menyesuaikan penghasilan hakim tersebut sebagai sebuah kemunduran dan berpotensi mengancam integritas lembaga peradilan. Tanpa kesejahteraan yang memadai, hakim menurutnya rentan terhadap praktik korupsi karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Apalagi, MA telah mengeluarkan Putusan Nomor 23P/HUM/2018 yang secara tegas mengamanatkan perlunya peninjauan ulang pengaturan penggajian hakim. Dengan demikian, pengaturan penggajian hakim yang diatur dalam PP Nomor 94 tahun 2012 saat ini menurut Fauzan sudah tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
“Oleh karena itu, revisi terhadap PP 94/2012 untuk menyesuaikan penghasilan hakim menjadi sangat penting dan mendesak,” ucap Fauzan.
Belakangan, Komisi Yudisial (KY) menyatakan bakal menginisiasi forum pertemuan antarlembaga untuk menindaklanjuti rencana cuti massal hakim pada 7-11 Oktober 2024 menuntut kesejahteraan melalui gaji dan tunjangan.
Anggota dan Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata mengatakan pihaknya telah lebih dulu melakukan pertemuan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada Jumat, 27 September 2024.
Pertemuan itu membahas gaji, pensiun, tunjangan hakim, tunjangan kemahalan, rumah dinas, transportasi, jaminan kesehatan dan pendidikan anak di lokasi hakim ditempatkan.
“Sebagai tindak lanjut, KY akan menginisiasi forum pertemuan antara KY, MA, Bappenas, dan Kemenkeu sebagai komitmen bersama untuk menindaklanjuti permintaan para hakim, sesuai kewenangan masing-masing lembaga,” ujar Mukti melalui keterangan persnya, Senin (30/9/2024).
Ia menjelaskan KY pada dasarnya memahami dan mendukung upaya para hakim untuk meningkatkan kesejahteraan. Sebab, hakim adalah personifikasi negara dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang kewenangannya diperoleh secara atributif dari konstitusi.
Oleh karena itu, tutur Mukti, negara wajib memenuhi hak keuangan dan fasilitas hakim yang menjadi salah satu perwujudan independensi hakim. KY bersama Mahkamah Agung (MA) mengaku berkomitmen untuk terus mengupayakan agar tujuan tersebut bisa tercapai.
“Terkait rencana cuti bersama, KY berharap agar para hakim menyikapinya secara bijak sehingga aspirasi dapat tersampaikan dan kepentingan penyelenggaraan peradilan dan pencari keadilan tidak terganggu. Selanjutnya, KY akan siap menerima audiensi Solidaritas Hakim Indonesia,” ucap Mukti.
Aksi solidaritas hakim ini menunjukkan dukungan penuh dari hakim di Denpasar terhadap gerakan cuti massal. Mereka berjuang untuk peningkatan kesejahteraan hakim dan mendukung tuntutan yang telah ada sejak tahun 2012. Aksi ini juga menunjukkan semangat kebersamaan dan solidaritas di kalangan hakim di seluruh Indonesia. (akha)